Kimia Farma Laboratorium & Klinik

Artikel

Mengenal Demam Tifoid Dan Pencegahannya

Demam Tifoid merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella enterica, yang ditularkan melalui fekal-oral. Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi sebanyak 96% kasus dan 4% sisanya disebabkan oleh Salmonella paratyphi. Demam tifoid yang terjadi sepanjang tahun membawa konsekuensi pada tingginya angka kejadian di area perkotaan maupun pedesaan di wilayah Indonesia. Angka kejadian demam tifoid semakin bertambah dari tahun ke tahun. Berdasarkan Laporan Kinerja Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan 2022 oleh Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan, demam tifoid menjadi salah satu dari 20 penyakit dengan biaya kesehatan tertinggi. Hal ini merupakan imbas dari kombinasi permasalahan terkait satu dengan lainnya, misalnya: akurasi diagnosis, resistensi antibiotik dan masih rendahnya kesadaran vaksinasi demam tifoid. Berdasarkan data Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), kasus demam tifoid menghabiskan setidaknya rata-rata tarif lebih dari dua juta rupiah per kunjungan.  

1. Perjalanan Penyakit dan Gejala Demam Tifoid

Pada awalnya kuman Salmonella masuk ke dalam tubuh melalui makanan/minuman yang dikonsumsi. Selanjutnya mengikuti proses pencernaan menuju lambung. Sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung, sedangkan sebagian lainnya masuk ke usus halus. Kuman yang lolos dapat menembus dinding usus dan kemudian berkembang biak di jaringan limfoid usus halus dan menyerang vili usus halus (tonjolan kecil seperti jari yang terdapat di dalam usus kecil dan berfungsi untuk menyerap nutrisi dan cairan yang dibutuhkan tubuh). Berikutnya kuman masuk ke dalam peredaran darah dan berkembang biak di jaringan hati, limfe, ataupun sumsum tulang dan pada tingkat lanjut, dapat menyerang organ lainnya. Demam tifoid memiliki keluhan utama demam (suhu di atas 37.5 derajat Celcius) naik turun terutama sore dan malam hari dengan pola selang seling dan kenaikan suhu tubuh yang naik secara bertahap setiap hari. Demam tinggi berlangsung terus menerus hingga berada pada suhu tertinggi pada akhir minggu pertama serta dapat berlangsung hingga minggu kedua. Keluhan utama tersebut dapat disertai dengan masalah pencernaan (diare ataupun sembelit), nyeri kepala area depan, pusing, kelelahan, pegal linu, nyeri ulu hati, mual/muntah, ataupun penurunan nafsu makan. Adapun berbagai gejala ini akan muncul setelah masa inkubasi 3-21 hari.  

2. Faktor Risiko Penularan dan Pencegahan

Penularan demam tifoid dapat dijelaskan dengan istilah 5 F, yaitu faktor-faktor yang berperan dalam penyebaran penyakit ini. Berikut adalah 5 F penularan demam tifoid:
  1. Feces (Feses): Penularan terjadi jika seseorang terpapar feses yang terkontaminasi, misalnya lewat sanitasi yang buruk atau tidak mencuci tangan setelah buang air besar.
  2. Fluids (Cairan): Cairan tubuh, seperti urin, juga dapat mengandung bakteri Salmonella typhi. Penularan dapat terjadi jika cairan tersebut terkontaminasi atau kontak langsung dengan orang lain, terutama jika kebersihan diri tidak dijaga dengan baik.
  3. Food (Makanan): Makanan yang terkontaminasi bakteri Salmonella typhi akibat tercemar oleh feses atau air yang terinfeksi, dapat menjadi media penyebaran demam tifoid. Makanan yang tidak dimasak dengan baik atau tidak higienis berisiko tinggi untuk menularkan penyakit ini.
  4. Flies (Lalat): Lalat dapat berfungsi sebagai pembawa bakteri Salmonella typhi jika mereka hinggap pada makanan atau tempat yang terkontaminasi feses penderita. Lalat membawa kuman tersebut ke berbagai tempat dan mengontaminasi makanan atau minuman.
  5. Fingers (Jari Tangan): Jari tangan yang terkontaminasi feses atau benda yang tercemar bakteri Salmonella typhi dapat menyebabkan penularan jika seseorang tidak mencuci tangan setelah kontak dengan lingkungan yang terkontaminasi. Penularan bisa terjadi jika tangan yang tercemar bakteri menyentuh makanan atau mulut.
Dengan memahami rute penularannya, maka berikut merupakan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain:  
  1. Perbaikan sanitasi/ kebersihan lingkungan (penyediaan air bersih sesuai standar kesehatan dan pengamanan pembuangan limbah feses)
  2. Menjaga higienitas makanan dan minuman (terhindar dari hewan pembawa penyakit)
  3. Peningkatan kebersihan perorangan (mencuci tangan dengan benar sebelum dan sesudah makan serta setelah buang air)
  4. Vaksinasi aktif direkomendasikan bagi penjamah makanan, anak usia sekolah, tentara, petugas laboratorium mikrobiologi, tenaga kesehatan, dan individu yang bepergian ke daerah endemik demam tifoid. Terdapat jenis vaksin tifoid yang direkomendasikan WHO, untuk pencegahan tifoid yakni:
    • Vaksin konjugat tifoid  (TVC) yang diindikasikan untuk anak usia mulai 6 bulan hingga dewasa berusia 45 tahun. Salah satu jenis ini yang dikenal adalah Vi-DT yang merupakan vaksin polisakarida Vi yang terkonjugasi dengan protein pembawa toksoid difteri.
    • Vaksin polisakarida tak terkonjugasi (kapsular Vi polisakarida atau ViCPS), yang dapat diberikan pada usia mulai 2 tahun atau lebih diberikan melalui rute otot dan diulang setiap 3 tahun.
    • Vaksin Ty21a yang diberikan berupa kapsul dan diberikan secara oral bagi yang berusia di atas 6 tahun dengan interval selang sehari (hari 1, 3 dan 5), dan diulang setiap 3-5 tahun
 

3. Kehadiran Vaksin Konjugat Tifoid (Vi-DT) di Indonesia

Vaksin jenis ini telah mendapatkan izin edar dan dinyatakan aman di Indonesia dari Badan Pengawas Obat dan Makanan pasca dilakukannya uji klinis selama satu dekade. Vaksin ini dapat diberikan pada bayi usia ≥ 6 bulan, anak-anak, dan dewasa. Disuntikkan dosis tunggal melalui intramuskular (otot) pada area lengan atas atau paha atas sebelah luar. Vaksin ini tidak dianjurkan disuntikkan di pantat karena posisinya yang dekat dengan batang saraf. Dosis booster dapat diberikan setelah 3 tahun dari dosis pertama untuk menjaga perlindungan terhadap demam tifoid. Adapun vaksin jenis ini tidak dapat diberikan pada individu yang hipersensitif terhadap setiap komponen vaksin, wanita hamil/menyusui, serta pasien demam/infeksi berat. Efek samping seperti nyeri, kemerahan dan pembengkakan yang ringan dapat saja terjadi pada lokasi suntikan.  

 
References:
  • World Health Organization. (2022). Typhoid fever. Retrieved December 9, 2024, from https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/typhoid?gad_source=1&gclid=Cj0KCQiAx9q6BhCDARIsACwUxu7E21NXm9HGqkziaU90zALz7ybJ9VpdjFUK7_YDpkqFTjsAuTMW_CAaAn69EALw_wcB
  • Parry, C. M., Homan, E. J., McAuley, S., McElnea, C., Heelan, J., Waugh, E., et al. (2022). Typhoid fever: Pathogenesis and clinical management. The Lancet Infectious Diseases, 22(9), e140–e149.
  • Crump, J. A., Luby, S. P., & Mintz, E. D. (2023). The global burden of typhoid fever. Bulletin of the World Health Organization, 101(4), 302–314
  • Nusye, E. Z. (2024). Demam Tifoid. Buku Panduan Imunisasi untuk Perlindungan dan Upaya Peningkatan Produktivitas Pekerja. PERDOKI.
  • Parry, C. M., Hume, J. A., Ijaz, S., Hwang, K., & Hopkins, D. (2022). Typhoid fever and the global burden of disease: The role of vaccination and future challenges. Vaccine, 40(14), 2017–2024.

Syarat dan ketentuan

× Contact Us!