Kimia Farma Laboratorium & Klinik

Artikel

Pengendalian dan Pencegahan Rabies di Indonesia: Upaya, Tantangan, dan Solusi

Rabies yang merupakan salah satu jenis penyakit zoonosis masih menjadi bagian permasalahan kesehatan di Indonesia. Berbagai upaya mulai dari sosialisasi manajemen kasus gigitan termasuk vaksinasi rabies untuk pasien pasca gigitan sampai dengan program vaksinasi massal terhadap hewan yang menularkan rabies telah dilakukan oleh pemerintah sehingga di sebagian daerah kasus rabies dapat dikendalikan. Data terbaru menunjukkan bahwa beberapa daerah di Indonesia, terutama di wilayah yang memiliki populasi anjing liar yang tinggi, masih melaporkan kasus rabies pada manusia dan hewan. Muncul satu kasus rabies saja di  wilayah Indonesia dapat membawa dampak tidak hanya terhadap kesehatan, namun terhadap kondisi psikologis akan terciptanya rasa aman. Hal ini dapat berimbas pada perekonomian khususnya bagi daerah-daerah pariwisata di Indonesia yang tertular rabies. Untuk itulah pengendalian penyakit ini perlu dilaksanakan untuk mewujudkan Indonesia Bebas Rabies.

Kasus rabies pada manusia seringkali terjadi karena gigitan atau cakaran hewan yang terinfeksi. Sebesar 99% kasus rabies pada manusia diperantarai oleh gigitan anjing yang terinfeksi. Hampir 100% rabies berakibat fatal saat gejala klinis muncul. Untuk itulah pencegahan dan tatalaksana kasus gigitan hewan penular rabies harus diketahui dan dipahami dengan baik masyarakat Indonesia. Hanya 11 provinsi yang dinyatakan bebas rabies antara lain: Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Papua Barat, Provinsi Papua, Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan. Pada Januari-Juli 2024, statistik menunjukkan 71 orang Indonesia meninggal dunia akibat rabies.  Provinsi-provinsi seperti Bali, Nusa Tenggara, dan sebagian wilayah Jawa menjadi zona rawan rabies. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi provinsi yang paling terdampak selama periode tahun 2024. Berdasarkan data bulan Januari hingga Juli 2024 saja, NTT melaporkan 16.180 kasus gigitan hewan berpotensi rabies dan 27 kematian akibat rabies. Data World Health Organization (WHO) untuk Indonesia menyebutkan sejak awal tahun 2023, Empat dari lima orang Indonesia yang meninggal karena rabies tidak mencari perawatan medis setelah digigit akibat ketidaktahuan akan bahaya rabies yang diakibatkan oleh gigitan hewan tersebut.

1. Etiologi, Cara Penularan, dan Gejala Klinis

Rabies adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus rabies (Genus lyssa virus dan termasuk ke dalam family Rhabdoviridae) yang menyerang sistem saraf pusat, dan dapat berakibat fatal jika tidak ditangani dengan cepat. Virus rabies mampu hidup pada pemanasan dalam jangka waktu lama. Pada prinsipnya, virus ini memiliki karakter semakin rendah suhu lingkungan maka semakin lama virus tersebut dapat bertahan. Virus rabies mudah mati oleh sinar matahari dan sinar ultraviolet, pengaruh keadaan asam dan basa, zat pelarut lemak (seperti: eter dan kloroform), Na deoksikolat, dan air sabun.

Hewan yang berpotensi sebagai sumber penularan rabies pada manusia adalah anjing, kucing dan kera. WHO menyebutkan bahwa masa inkubasi virus rabies adalah rata-rata 30-90 hari. Lama singkatnya masa inkubasi ini dipengaruhi oleh jenis/strain virus rabies, jumlah virus yang masuk, kedalaman luka gigitan, lokasi luka, banyaknya persarafan di wilayah luka dan imunitas penderita. Adapun ciri hewan yang kemungkinan berpotensi rabies antara lain: hewan tidak mengenal tuannya, sering menghindar dan mengacuhkan perintah tuannya; Mudah terkejut dan cepat berontak bila ada provokasi; takut cahaya; takut air; gonggongan parau; air liur berbuih; tidak mampu mengunyah; dan lumpuh atau saat berjalan kaki belakang diseret. Sedangkan pada manusia, rabies menunjukkan gejala sebagai berikut:

  • Tahap prodromal: pada tahap awal gejala yang muncul berupa demam, lemas, lesu, tidak nafsu makan, insomnia, nyeri kepala hebat, maupun sakit tenggorokan.
  • Tahap sensoris: pada tahap ini pasien akan kesemutan atau ada rasa panas (parestesi) di area gigitan, cemas, maupun reaksi berlebihan terhadap rangsangan sensorik.
  • Tahap eksitasi: pada tahap ini penderita mengalami gangguan neurologis, bingung, gelisah, halusinasi, ketakutan disertai perubahan perilaku menjadi agresif, serta phobia (misalnya: hidrofobia, aerofobia, fotofobia).
  • Tahap paralisis: tahap ini dijumpai paralisis otot bertahap dimulai dari bagian bekas luka gigitan/cakaran. Penurunan kesadaran berkembang perlahan hingga akhirnya mati karena kelumpuhan otot pernafasan dan jantung.

 2. Pencegahan Rabies Pada Manusia

Pencegahan rabies pada manusia meliputi tatalaksana luka gigitan hewan penular rabies hingga vaksinasi. Penanganan luka gigitan hewan penular rabies meliputi: pencucian luka, pemberian antiseptik, serta pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dan Serum Anti Rabies (SAR).

  • Pencucian luka

Pencucian luka dilakukan menggunakan sabun di bawah air mengalir selama kurang lebih 15 menit sesegera mungkin. Pencucian luka tanpa menggunakan alat-alat medis yang berlebihan karena dikhawatirkan akan menimbulkan luka baru dimana virus semakin masuk ke dalam. Setelahnya dapat menghubungi fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan penanganan.

  • Pemberian Antiseptik

Pemberian antiseptik pasca pembersihan luka bertujuan untuk membunuh virus rabies yang masih tersisa di sekitar luka gigitan. Antiseptik tersebut antara lain: povidon iodine, alkohol 70%, dan zat antiseptik lainnya.

  • VAR dan SAR

Adapun hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian vaksin anti rabies dan serum anti rabies antara lain: kondisi hewan saat pajanan terjadi, hasil observasi hewan, hasil pemeriksaan laboratorium spesimen otak hewan, serta kondisi luka yang ditimbulkan. Pemberian vaksinasi rabies adalah bertujuan untuk merangsang sistem imunitas dalam tubuh dan diharapkan antibodi yang terbentuk akan menetralisasi virus rabies. Pemberian vaksin anti rabies ini tidak akan memberikan manfaat lagi jika virus rabies terlanjur telah berlanjut dan mencapai susunan saraf pusat. Untuk itu pemberian VAR atau SAR sesegera mungkin perlu diperhatikan dengan mempertimbangkan hal-hal yang telah disebutkan di atas. SAR turut diberikan jika luka tergolong risiko tinggi yaitu jilatan/luka pada mukosa, luka di atas daerah bahu (leher, muka dan kepala), luka pada jari tangan dan kaki, luka di bagian genitalia, luka yang lebar/dalam, maupun banyaknya jumlah luka.

3. Vaksin Anti Rabies

  • Purified Vero Rabies Vaccine/PVRV (Verorab ®)

Merupakan vaksin kering dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml dalam spuit injeksi. Vaksin ini disuntikkan ke dalam otot/ intramuskular (IM) di daerah lengan atas (deltoid) ataupun di wilayah paha anterolateral (anak-anak umur di bawah 1 tahun). Dosis pada anak maupun dewasa adalah sebesar 0.5 ml dengan waktu pemberian:

    • Hari ke 0, 2 dosis (lengan atas kanan dan kiri atau paha kanan dan kiri untuk anak < 1 tahun)
    • Hari ke-7
    • Hari ke-21
  • Purified Chick Embriyo Cell-culture vaccine/PCECV (Rabipur®)

Dosis yang diberikan adalah sebesar 1 ml ke dalam otot / intramuskular dengan waktu pemberian sebagai berikut:

    • Hari ke 0, 2 dosis ( pada area lengan atas kanan dan kiri atau paha kanan dan kiri untuk anak < 1 tahun)
    • Hari ke–7 (1 dosis)
    • Hari ke-21 (1 dosis).
     
References:
  • World Health Organization (WHO). (2023). Rabies. Retrieved from https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/rabies
  • Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2021). Pedoman pengendalian rabies di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
  • Dharmawan, S., Rusmilah, N., & Setiawan, K. (2024). Epidemiologi rabies di Indonesia: Status terkini dan tantangan pengendaliannya. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 12(3), 123-130.
  • Li, R., Huang, S., Zhang, H., et al. (2024). Effectiveness of post-exposure prophylaxis for rabies prevention in humans: A systematic review. Vaccine, 42(1), 67-74. https://doi.org/10.1016/j.vaccine.2023.11.056
  • Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Buku Saku Rabies: Petunjuk Teknis Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Syarat dan ketentuan

× Contact Us!